BAB
1
PENDAHULUAN
Oleh:
Achmad Saleh
1.
Latar Belakang
Kosovo adalah sebuah provinsi dinegara bekas
Yugosavia dan kini di bawah kedaulatan Serbia. Namun demikan, Kosovo diberi
otonomi khusus oleh pemerintah sebia atas tekanan-tekanan dari negara-negaara
barat dan anggota pakta pertahanan atlantik utara atau Nato.
konflik selalu saja terjadi di berbagai belahan bumi
manapun di dunia. Konflik adalah hubungan antara dua pihak baik individu atau
kelompok yang memiliki sasaran-sasaran yang
tidak sejalan1.
Konflik juga dapat dikatakan sebagai sebuah keadaan yang terjadi karena
terdapat perbedaan kepentingan antar individu atau kelompok. Konflik yang sudah
pernah terjadi di dunia, dan seperti kita ketahui bersama antara lain adalah,
Konflik Rwanda, konflik
Bosnia-Herzegovina, konflik
Kosovo dan lain-lain. Dari dua definisi tersebut, makalah ini akan mencoba
memaparkan konflik yang terjadi di Kosovo beberapa waktu yang lalu.
Konflik di Kosovo terjadi karena
adanya usaha melenyapkan etnis Albania yang merupakan etnis minoritas oleh
etnis Serbia yang merupakan etnis mayoritas. Fanatisme dari etnis Serbia muncul
tidak lepas dari usaha seorang tokoh antagonis di panggung sandiwara dunia,
Presiden Yugoslavia Slobodan
Milosovic yang beretnis Serbia. Presiden Yugoslavia memimpikan sebuah “Serbia
Raya”, dan karena etnis Albania yang merupakan etnis minoritas dengan latar
belakang mayoritas beragama Islam ingin memisahakan diri dengan etnis Serbia
yang mayoritas dengan latar belakang mayoritas beragama Katolik. Slobodan
Milosevic dengan segera mengadakan aksi kekerasan dengan kekuatan militer untuk
menanggulangi pemisahan diri etnis Albania
Latar belakang
masalah
1. Bagaimana konflik Kosovo itu terjadi?
2. Bagaimana konflik Kosovo itu terulang kembali?
3. Bagaimana siapa saja aktor dalam konflik Kosovo?
Tujuan masalah
1. Agar mahasiswa tahu kenapa konflik Kosovo itu terjadi.
2. Agar kita mampu mengetahui konflik Kosovo itu terulang kembali.
3. Kita mampu mengetahui siapa saja aktor dalam konflik Kosovo.
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Kembalinya Konflik Etnis Kosovo
Setelah kematian Tito pada
tanggal 4 Mei 1980, ketegangan anatar etnis muncul kembali.Konflik etnis yang terakumulasi
pada paruh 1970-an mulai meledak, setelah sekian lama berhasil ditekan pada
masa kekuasaan Tito. Meniggalnya Tito telah menciptakan situasi vacum politik
di Yugoslavia dan menunjukan bahwa setabilitas negara Yugoslavia bergantung
sepenuhnya pada kemampuan pemimpin kharismatik dalam harmonisasi hubungan antar
etnik. Kekerasan etnik yang terjadi di kosovo awal tahun 1981, merupakan
fenomena awal konflik anatr etnik sepeninggalan Tito
yang paling krusial bagi
stabilitas Yugoslavia. Terjadi unjuk rasa yang meluas di Kosovo oleh kelompok
nasional Albania yang menuntut peningkatan status Kosovo menjadi republik
penuh. Unjuk rasa yang di lakukan oleh mahasiswa di Universitas Pristina bulam
maret 1981 secara cepat menyulut demonstrasi secara luas dan aksi kekerasan
melanda seluruh wilayah propinsi, menyebabkan bentrok serius antara etnis
Albania dengan aparat keamanan. Seluruh seluruh wilayah Kosovo di tutup dan
keadaan darurat diumumkan. Pemerintah Serbia melakukan ‘unjuk’ kekuatan militer
di seluruh wilayah Kosovo, pasukan anti huru hara di turunkan untuk meredakan
suasana.
Seluruh institusi pendidikan di
wilayah ini tutup. Demonstrasi yang semangkin meluas terjadi pada bulan Maret
1982. Ketegangan dan kerusuhan meluas ke wilayah Montenegro dan Macedonia. Pada
aakhir juli 1980, sekitar 2.000 etnik Serbia dan Montenegro berencana melakukan
longmarch dari Kosovo menuju Beograd untuk melakukan protes terhadap kegagalan
pemerintah federal dalam menghentikan aksi kekerasan kelompok nasionalis
Albania. Tapi aksi protes itu di hentikan oleh pemerintah setempat. Ratusan
etnik Serbia dan Montengro mengungsi keluar meninggalkan Kosovo, dengan jumlah
total pengungsi sebesar 22.000 orang pada tahun 1987.
Konflik di Kosovo mencapai
puncaknya pada tahun 1989. Terjadi demonstrasi besar besaran yang di lakakuakan
etnis Albania sebagai rasa kekecewaan terhadap Serbia. Kosovo merasa otonomi
propinsinya banyak di kurangi semenjak Serbia dipimpin oleh Slobodan Milosevic.
Kerusuhan etnis memuncak ketika di syahkanya amandemen undang-undang dasar
republik Serbia, yang menyatakan bahwa otonomi Kosovo berada dibawah pengawasan
pemerintah republik Serbia (Maret 1989).
Padahal sebelum diubah
(berdasarkan konsitusi 1974), Serbia tidak punyai wewenang terhadap propinsi
otonominya. Kerusuhan yang terjadi menimbulkan jatuhnya korban sebanyak 100 orang
meninggal dari etnis Albania (termasuk dua polisi) dan lebih dari 254 militan
Albania di tangkapdalam Bulan Febuari 1990 setelah terjadi kerusuhan. Setelah
itu, di Kosovo sisa-sisa gerakan yang menghendaki pemerintahan sendiri secara
perlahan berhasil di lenyapkan anatara tahun 1989-1990, ketika Milosevic
menekan Dewan Kosovo dan memenjarakian wakil-wakilnya. Pendudukan Serbia ini di
tandai dengan tersingkirnya etnik Albania dari posisi-posisi yang mereka duduki
sebelumnya. Walaupun penduduk etnik Serbia di Kosovo hanya kurang dari 10 %
tetapi Milosevic memaksakan agar bahasa Serbo-Kroasia sebagai bahasa resmi di
Kosovo. Untuk itu pengusa Serbia membubarkan semua sekolah-sekolah lanjutan yang
menggunakan bahasa Albania dan memberhentikan tidak kurang dari 6.000 guru
etnik Albania.
Dalam hal kerusuhan etnis di Kosovo, pihak
Kroasia dan Slovenia melancarkan kecaman keras atas pengambilalihan kekuasaan
Kosovo oleh Serbia dan menuduh Serbia melanggar hak-hak asasi penduduk kosovo
untuk bebas menentukan nasibnya sendiri. Kroasia dan Slovenia mengkhawatirkan tindak tanduk Serbia atas
Kosovo yang di dasarkan sebagai ancaman dari suku terbesar terhadap suku
minoritas, apalagi mengingat usah Serbia dalam melakukan amandemen terhadap
hegemoni Serbia atas repubhlik-republik lainnya. Usaha Serbia untuk membatalkan
ketentuan-ketentuan konsitusi telah meninggalkan kekhawatiran republik-republik
lainnya. Jelas bahwa perubahan konsitusi nasional tersebut untuk memberikan
wewenang lebih besar kepada pemerintah pusat yang berarti pula akan mengurangi kekebasan
republik-republik lainnya. Dukungan Kroasia dan Slovenia terhasap etnis Albania
telah meninggalakan ketegangan hubungan anatara Korasia dan Slovenia di satu
pihak dengan Serbia dan Mentenogro di lain pihak, seperti ketika terjadi perang
pers Serbia dan Montengro melawan pres Kroasia dan Slovenia. Pihak Serbia dan
Montenegro menuduh di balik dukungan Kroasia dan Slovenia terhadap gerakan irredenta
etnis Albania itu tersembunyi maksud kedua republik ini untuk menegaskan atau
menguji
kedaulatan pemerintahan federal untuk memungkinkannya
memisahkan diri dari Yugoslavia, kemudian hari jika diperlukan. Bersamaan
dengan itu, hubungan politik, cultural, dan akademik antara kedua belah pihak
juga mengalami kemandekan.
Persengketaan ini mencapai puncaknya ketika pemerintah
Slovenioa tidak mengijinkan diadakannya pertemuan massal oleh etnis Serbia dan
Montenegro asal Kosovo yang akan dilaksanakan tanggal 1 Desember 1989 di
Ljubljana, ibukota Slovenia, yang mana dimaksudkan bagi rancangan kembalinya etnis Serbia dan
Mentenegro itu ke Kosovo setelah merdeka pindah dari sana sejak tahun 1980-an .
Selanjutnya pemerintahan Slovenia mengambil langkah-langkah pengamanan untuk
mencagah pertemuan massal itu dengan menggerakan polisi dam militernya kedaerah
perbatasan Slovenia.
Lebih lanjut lagi, pertikaian antar etnis telah
mengakibatkan terjadinya pertentangan antar gereja. Ditangkapnya para militan
Kroasia atas serangkaian tindak kerusuhan tahun 1980-an menyebabkan
pertentangan kembali antara Gereja Katholik Kroasia dengan pemerintahan federal
terutama Serbia. Pertentangan agama yang mulai tumbuh sejak abad 11 itu tetap
mengakar kuat bahkan menjalar dalam bidang kehidupan politik dan sosial.
Kroasia dan Slovenia secara histories memang telah memiliki perbedaan mendasar
dengan Serbia yang tidak jarang menjadi bahan
perselisiahan.Gerja Kristen Orthodoks Serbia yang pro
pemerintahan selalu bertentangan dengan Gereja Katholik Roma yang berada di
Kroasia dan Slovenia yang sering menyarankan anti pemerintah.
Selain itu,
sosialisasi antara kelompok etnis di Yugoslavia dapat dikatakan sudah tidak ada
lagi. Program pertukaran kebudayaan di antara keenam republik semangkin jarang
dilakukan. Sekolah-sekolah dengan program nasional semangkin terkikis dan tidak
ada satupun universitas yang dibangun untuk semua etnis yang ada.6 Dengan
demilian konsep bersatunya Yugoslavia
semangkin hilang didalam kehidupan antar etnis dan
tradisi yang selama ini menyatukan Yugoslavia.
2. Aktor intervensi dalam konflik Kosovo.
Semenjak Serbia dipimpin oleh Slobodan Milosevic terjadi
kerusuhan etnis, kerusuhan etnis memuncak ketika di sahkannya amandemen
undang-undang dasar Republik Serbia, yang menyatakan bahwa otonomi Kosovo
berada dibawah pengawasan pemerintah republik Serbia (Maret 1989).
Padahal sebelum diubah berdasarkan konsitusi 1974 Serbia
tidak mempunyai wewenang terhadap propinsi otonominya.Tidak setujunya etnik
Albania di Kosovo terhadap amandemen undang-unadang dasar republik Serbia yang
berisi mengenai otonomi Kosovo di bawah pengawasan pemerintah republic Serbia,
dan etnis Albania baik kaum moderat maupun kaum radikal yang mengandalkan
kekuatan bersenjata berpegang teguh pada cita-cita kemerdekaan Republik Kosovo.
Dengan adanya keinginan etnis Albania untuk mordeka dan
menjadikan Republik Kosovo sebagai negara yang berdaulat terpisah dari Serbia
maka menimbulkan aksi ageresif Slobodan Milosevic menumpa gerliawan dan
mengusir etnik Albania dari kosovo, Milosevic menggelegar KLA (Tentara
Pembebasan Kosovo) untuk memberantas kelompok separatis yang mengupayakana
kemordekaan kosovo. Sedangkan Serbia berpendapat Kosovo secara historis berada
dalam kawasan dan sebagai bagian Serbia, dan bagi mereka UCK adalah kelompok
teroris yang harus dihancurkan. Dengan adanya aksi berutal tersebut,
mengakibatkan banyak korban berjatuhan dari warga sipil Albania.
Berdasarkan laporan pasukan Yugoslavia dan milisi Serbia
sudah membantai ribuan warga sipil Albania di Kosovo, mereka juga membakar desa
dan kota serta mengusir penduduknya. Pembantaian etnis Albania oleh
tentara-tentara Serbia di bawah komando Slobondan Milosevic mendapat aksi
protes Amerika Serikat dan negara-negara Pakta Pertahanan Atlantik Utara
(NATO). Ancaman Amerika Serikat dan NATO terhadap Persiden Serbia (Slobondan
Milosevic) untuk menghentikan aksi pembantaian etnis Albania yang di lakukan
oleh tentara-tentara Serbia tidak di gubris oleh Slobondan Milosevic, tidak di
gubrisnya ancaman Amerika Serikat dan NATO oleh Slobondan Milosevic memaksa
Amerika Serikat dan NATO melakukan invasi ke Serbia, dengan tujuan untuk
menyelamatkan etnis Albania dan Kosovo dari pembantian lebih lanjut
tentara-tentara Serbia di bawah komando Slobondan Milosevic.
Dengan situasi yang tidak kondusif di wilayah
Yugoslavia, PBB mengerahkan pasukan perdamaiannya ke wilayah Yugoslavia untuk
meredam konflik. Pengerahan pasukan oleh PBB ke wilayah Yugoslavia merupakan
pengerahan pasukan terbesar dan terlama sepanjang sejarah penugasan pasukan PBB
dalam misi internasionalnya guna menjaga keamanan dan perdamaian dunia. Situasi
ini merupakan momentum yang sangat baik bagi kegiatan PBB untuk kepentingannya
terutama untuk mendapatkan bantuan dana dari masyarakat internasional. Tidak
ketinggalan pula bagi NGO-NGO, krisis yang terjadi di wilayah eks. Yugoslavia
merupakan ladang yang subur untuk berkiprah sesuai dengan kepentingannya baik
dalam rangka kepentingan kemanusiaan ataupun yang lainnya sesuai dengan misi
dari NGO yang bersangkutan. Akan tetapi tidak sedikit dari NGO tersebut justru
banyak yang memperkeruh situasi di banding membantu penyelesaian masalah yang
terjadi. Misalnya lewat NGO terjadi penyelundupan senjata atau personel NGO
merangkap jadi agen intelejen pihak-pihak tertentu di wilayah Yugoslavia.
Latar
belakang kemanusiaan dalam konflik Kosovo
Konflik yang terjadi di Kosovo telah menjadi salah satu
perhatian utama dunia internasional. Seperti yang telah dijelaskan diawal bahwa
etnik Serbia yang dipimpin oleh Slobodan Milosevic berusaha untuk menghalang
halangi keinginan etnik Albania di Kosovo untuk mendirikan republik Kosovo yang
lepas dari Serbia. Dengan mencabut hak otonomi Kosovo pada tahun 1989, dan
berupaya untuk melenyapkan etnik Albania di Kosovo . Tindakannya itu telah
mengakibatkan terjadinya tragedi kemanusiaan didaerah Balkan. Dengan politiknya
di Kosovo yaitu ‘pembersihan etnik’ yang dilakukan secara bertahap, sistematis,
dengan dibarengi strategi bumi hangus. Tentara Serbia menyerbu Kosovo dan
membunuh penduduk sipil serta membumi hanguskan desa-desa disana. Melihat
kejadian tersebut mau tak mau membuat masyarakat internasional kembali berpikir
untuk segera turun tangan. Terutama, ketika melihat besarnya jumlah korban yang
menderita dan meninggal dunia, serta ketika negara yang seharusnya berkewjiban
menangani masalah keamanan ternyata tak mampu, atau tak mau berbuat sesuatu.
Negara Barat hanya melihat dari sudut pandangnya bahwa Kosovo hanyalah
wilayah yang kecil, berpenduduk sedikit ,dan miskin.
Pelajaran baru yang kita dapatkan, hanyalah bahwa masyarakat dunia tak bisa
tinggal diam melihat pelanggaran HAM dilakukan secara terang- terangan dan
sistematis. Kita juga kini tahu bahwa, bila ingin mendapatkan dukungan
masyarakat dunia, intervensi harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip universal
yaitu yang berpegang pada piagam PBB. Saat ini, kita akan tahu persis bahwa
tujuan piagam itu melindungi hak-hak azasi manusia bukan pelanggar hak-hak
azasi manusia.
Dalam hal ini, masalah intervensi kemanusiaan tidak
dapat dianggap mudah atau begitu saja karena adanya kompleksitas didalamnya.
Seperti halnya memastikan secara ‘hitam-putih’ siapa salah siapa benar dalam
kasus begini. Yang mengintervensi akan membenarkan tidakannya dengan alasan
kemanusiaan, sementara yang diintervensi akan mengecam si pengintervensi dengan
alas an melanggar kedaulatan negara. Menurut futurology, batas-batas negara
kelak makin kabur di masa mendatang, intervensi kemanusiaan justru akan
mendapatkan pembenaran. Orang-orang akan meganggap “ sah-sah saja” berbuat
demikian. Hanya saja bukan berarti lalu tak ada lagi persoalan. Sebab, sangat
mungkin intervensi semacam itu dijadikan kedok untuk memaksakan kepentingan
negara tertentu.
Intervensi pihak luar yang terjadi di Kosovo sebagai
bentuk kausalitas konflik yang terjadi di daerah tersebut pada awalnya
dilakukan oleh negara negara Barat ( Eropa ) Tetapi Barat lebih berpihak kepada
Serbia, beranggapan bahwa Kosovo harus tetap menjadi bagian Republik Federasi
Yugoslavia dan mempercayai Serbia sebagai faktor stabilitas wilayah Balkan.
Pendapat ini keliru karena Serbia melakukan tindakan yang malah memicu
pertentangan semakin tajam. Konflik terus berkecamuk di Kosovo. Amerika yang
mengaku sebagai polisi dunia dan berperan penting menjaga ketertiban dan
keamanan dunia merasa
terpanggil untuk ikut campur menyelesaikan konflik yang
terjadi. Salah satu niat baik yang diberikan Amerika dengan mengupayakan
perdamaian melalui bentuk persetujuan konsep perdamaian yang dibawa oleh duta
perdamaian Amerika Serikat Richard Hoolbrooke. Dengan tujuan membujuk Presiden
Yugoslavia Slobodan Milosevic untuk menyetujui konsep perdamaian dengan etnik
Albania di propinsi Kosovo, yang antara lain ditandai dengan pemberian otonomi
penuh pada Kosovo dan kehadiran pasukan penjaga perdamaian Barat dipropinsi ini.
Ternyata upaya ini tidak direspon dengan baik oleh Milosevic.
Sejak berlangsung perundingan sebelumnya di Rambouillet,
di luar kota Paris, AS dan negaranegara Pakta pertahanan Atlantik Utara NATO
sudah memperingatkan Milosevic, dengan ultimatum kalau ia bersikeras tidak mau
menyetujui konsep perdamaian yang ditawarkan, maka negara tersebut ( Yugoslavia
) akan diserang. Dan terbukti Milosevic tetap bersikukuh dengan pendiriannya
tidak mengindahkan ancamantersebut.
Akhirnya pada hari Rabu siang 24 Maret 1999, di ruang
Ruang Oval Gedung Putih atas laporan Penasihat Keamanan Nasionalnya, Sandy
Berger bahwa misi duta perdamaiannya mengalami kegagalan dan permohonan
persetujuan penyerangan atas Yugoslavia. Dengan tegas Bill Clinton menyatakan
penyerangan terhadap Yugoslavia. Berger lalu kembali ke kantornya dan memanggil
Jendral Hugh Shelton, Kepala Pimpinan Staf Gabungan, yang meneruskan keputusan
presiden tersebut ke kantor Jendral Wesley Clark, Panglima tertinggi NATO di
Brussels, Belgia. Disini terlihat bahwa Amerika Serikat secara sepihak membuat
keputusan penyerangan terhadap Serbia tanpa pertimbangan dan persetujuan Dewan
Keamanan PBB, sebagai Badan Organisasi Internasional. Sekitar dua jam kemudian
saat malam sudah turun di Pristina, ibu kota Kosovo terjadi beberapa kali
ledakan, sejak itu Operasi Kekuatan Gabungan ( Operation Allied Force )NATO
mulai dilancarkan. Serangan udara yang dilancarkan NATO di Kosovo penuh dengan
drama ,sangat menarik dari kaca mata kajian strategi dan politik, perang udara
terbesar di Eropa sejak tahun 1945 dimulai. Dalam penyerbuannya ini AS
mengerahkan hampir seluruh kekuatan persenjataannya termasuk juga rudal
berpengarah laser dan persenjataan teknologi tinggi lainnya serta kekuatan
udara berupa berbagai jenis pesawat perang.Guna ambil bagian dalam perang yang
didalamnya terkandung kekejaman abad pertengahan. Dalam serangan ini pihak NATO
menyatakan berupaya keras menghindari jatuhnya korban baik warga sipil maupun
bangunan sipil. Meski NATO dalam Operasi Allied Force sudah mengerahkan
kekuatan udaranya yang spektakuler, tetapi Presiden Milosevic masih sanggup
bertahan, bahkan sebenarnya sempat ngotot.
Sepekan setelah serangan NATO, aksi Milosevic menumpas
gerilyawan dan mengusir etnik Albania dari Kosovo masih terus menggencar. Oleh
KLA ( Tentara Pembebasan Kosovo ), kelompok separatis yang mengupayakan kemerdekaan
Kosovo, pasukan Yugo dan milisi Serbia dilaporkan sudah membantai ribuan warga
sipil Albania di Kosovo. Mereka juga membakar desa dan kota, serta mengusir penduduknya.
Atas aksi tersebut, gelombang pengungsi yang berjumlah
ratusan ribu, mengalir membanjiri negara disekitar Yugo, seperti Albania,
Macedonia, dan Turki. Tragedi kemanusiaan di Kosovo ini sempat disebut sebut
sebagai bencana paling besar yang terjadi di Eropa sejak berakhirnya Perang
Dunia II. Dengan latar belakang sepert itu, NATO bertekad melanjutkan serangan
udara hingga Presiden Milosevic bersedia menendatangani perjanjian Rambouillet.
Setelah persetujuan dicapai antara NATO dan Yugoslavia,
pengungsi Kosovo etnik Albania segera bergegas kembali ke kampung halaman, dan
tentara Serbia yang dikirim ke Kosovo pun juga kembali kedaerah asalnya (meski
pada sebagian waktu kemarin mereka harus sembunyi dari gempuran serangan udara
NATO ), semua bisa melihat kehancuran yang ada. Selain sasaran militer, bom-bom
NATO juga menghancurkan prasarana sipil seperti jembatan, juga pabrik dan
fasilitas umum. Setelah Milosevic menyerah dan Kosovo diberikan di bawah
pengawasan internasional. Sekilas membaca penjelasan diatas mengenai intervensi
kemanusiaan di Kosvo, dapat diambil pemahaman bahwa,campur tangan yang
dilakukan Amerika Serikat dan Sekutunya yang tergabung dalam Pakta Pertahanan
NATO adalah dalam bentuk Intervensi Kekuatan Bersenjata.
kesimpulan
Keberadaan intervensi
kemanusiaan dalam upaya penyelesaian konflik masih menjadi sesuatu yang tidak
mungkin terlepas dari kepentingan aktor pelaku intervensi. Keterlibatan NATO
dan negara-negara anggotanya dalam menyelesaikan konflik Kosovo lebih banyak
mempergunakan jalan kekerasan,karena menurut mereka cara-cara damai hanya akan
menghabiskan waktu dan memberi kesempatan bagi Serbia untuk melakukan
tawar-menawar. Jika itu dilakukan sama saja menunjukkan kelemahan NATO yang
dalam situasi ini seharusnya bertindak sebagai pemegang kendali.
NATO juga merasa berhak untuk melakukan
intervensi dalam konflik Kosovo, karena di Kosovo dapat dikatan telah terjadi
pelanggaran HAM berat dimana terdapat usaha pemusnahan etnis Albania atas etnis
Serbia yang secara tidak langsung dikomandoi oleh Slobodan Milosevic. Amerika
Serikat yang tergabung dalam NATO dan mengikuti Operasi Allied Force pun
mempunyai kepentingan tersendiri dalam intervensi tersebut, yaitu ingin
mendapatkan simpati dan berusaha membendung hegemoni Rusia yang cukup
berpengaruh juga di kawasan Eropa Timur.
Daftar pusaka
Konflik
Kosovo dan Kekuatan Udara, dalam http://www.angkasaonline.
com/09/10/opini/opini1.htm,
Laporan Tahunan KBRI di Beograd II 1989/1990
Dari konflik pasca
Perang Dingin : Studi Kasus Yugoslavia, Laporan
Penelitian FISIP UGM Yogyakarta,1996.
oke,,thx ya,lain kali referensi jangan cuma 2 ya.
BalasHapus