2. Ancaman- Ancaman Tauhid
Keyakinan tentang keesaan Allah bukanlah pencapaian yang diraih sekali saja dan kemudian selesai dan tuntas. Keimanan kepada Allah selalu dalam keadaan diuji. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? (QS. Al-‘Ankabut [29]:2) . Tauhid kepadah Allah adalah sebuah perjuangan yang terus-menerus secara konsisten. Setiap saat bisa muncul ujian terhadap ketauhidan ini. Sebagai contoh kecil, beberapa ancaman tauhid itu antara lain:
Pertama, hawa nafsu. Ancaman serius terhadap ketauhidan sebetulnya bermula dari diri manusia itu sendiri, yaitu berupa hawa nafsu. Orang yang terbius oleh hawa nafsu menjadi cenderungeksklusif, menolak kebenaran, sombong dan menghalangi diri untuk membuka diri terhadap kebnaran dari luar. Disamping potensi berpaling dari Tuhan itu terdapat dalam diri manusia sendiri (hawa nafsu), Allah juga menggambarkan bahwa ada makhluk ghaib yang membangkan kepada Allah sejak adam diciptakan dulu, yaitu setan/iblis. Setan akan selalu menganggu dan membujuk manusia untuk menuruti hawa nafsnya.
Kedua, lingkungan sosial, sebagai makhluk sosial, manusia tentu tak akan melepaskan diri dari lingkungannya. Keyakinan yang kuat kepada Allah SWT juga harus diletakkan dalam konteks kesejarahan manusia yang terus menerus berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Lingkungan sekitar yang tidak kondusif juga dapat menjadi ancaman tauhid. Alam sekitar seharusnya dipahami sebagai ciptaan Tuhan terkadang dipandang dan digunakan karena diyakini mempunyai kekuatan magis. Kemajuan sains dan teknologi disatu sisi memang memudahkan kehidupan manusia. Namun disisi lain juga dapat menjadi ancaman tauhid. Karena terlalu terpakau dengan kemajuan teknologi, manusia dapat mengabaikan tuhan. Padahal dalam konsep islam, segala sesuatu selalu berada dibawah kekuasaan dan kehendak Tuhan.
Ketiga,sekuralisme dan matrealisme. Budaya modern memang banyak menawarkan kemudahan bagi kehidupan manusia. Tetapi di balik itu, budaya modern juga menyiapkan belenggu-belenggu kemanusiaan yang baru. Salah satunya adalah dengan adanya paham sekularisme dan materialisme. Dalam paham sekularisme, manusia modern dituntut untuk hanya mempromosikan ajaran tuhan pada ranah kehidupan privat atau wilayah kehidupan pribadi saja. Ajaran tuhan tidak mendapat tempat dalam kehidupan publik. Agama tidak boleh dibawa-bawa dalam proses politik, ekonomi, sosial dan budaya. Sedangkan materialisme menanamkan pemahaman bahwa motif dan kepentingan utama manusia lebih terkait dengan segala sesuatu yang bersifat materi. Yang paling berharga dalam hidup adalah materi. Materi menjadi ukuran kehidupan. Nilai-nilai ketuhanan tidak mendapat tempat dalam paham materialisme.
Kedua paham ini menjadi ancaman serius bagi ketauhidan masyarakat modern. Dalam pandangan kedua paham itu, tauhid hanya relevan untuk kehidupan individual. Tetapi tauhid tidak mendapat tempat dalam kehidupan kolektif manusia. Bagi sekularisme, agama dan doktrin-doktrin mengenai eksistensi Tuhan adalah relatif, yang dapat berubah sesuai dengan perubahan dan pertumbuhan masyarakat. Dengan pemahaman dan pelakuan seperti ini, ajaran tauhid dimandulkan dan tak lagi dapat menjadi kekuatan pembebasan manusia dari belenggu-belenggusistem sosial, politik ekonomi dan budaya. Tauhid hanya sekedar menjadi alat legitimasi terhadap realitas sosial budaya yang berkembang. Manusia modern telah berubah menjadi budak dan penyembah materi. Allah mengingatkan hal ini dalam firman Nya:
Artinya: “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi” (QS. Al-Munafiqun [63]:9)
Kecuali ketiga hal diatas, untuk konteks indonesia, keyakinan pada hal-hal mistik pengaruh dari aninisme dinanisme juga terlihat masih dikental. Fenomena kemunculan paranormal di ruang publik secara menyolok menandai pengaruh paham ini masih kuat yang mencari solusi permasalahan dengan datang kedukun. Kepercayaan ritual-ritual keyakinan lokal dan keyakinan terhadap ceria-ceria dewa dan makhluk halus (mitologis) lain juga masih dianut oleh sebagian masyarakat kita. Belakangan kita juga menyaksikan munculnya nabi-nabi palsu yang meresahkan masyarakat.
Kondisi ini tentu saja mengganggu dan mengancam ketauhidan umat islam, karena disatu sisi, tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keimanan dalam islam, dan disisi lain paham dan aliran sesat serta nabi palsu ini juga memiliki kecenderungan yang eksklisif, mengisolasi diri dari lingkungan sosial yang membuat doktrin tauhid kemudian tidak berfungsi sebagai kekuatan untuk membebaskan manusia dari berbagai belunggu sistm sosial, politik, ekonomi dan budaya. Terlebih lagi doktrin tauhid semacam ini menjadi tak senafas dengan perkembangan dunia modern dan membuat islam semakin t erpojok.
b. tauhid sosial
tauhid sosial dalam pembahasan ini didefinisikan sebagai keyakinan seorang muslim atas eksistensi, sifat-sifat dan kekuasaan Allah serta pada hal-hal gaib yang dikabarkan-Nya yang berpengaruh nyata pada kehidupan sosial. Dengan kata lain, tauhid sosial adalah pengaruh sosial keberimanan seorang muslim. Jika seorang muslim normatif berhubungan dengan sesuatu yang metafisis (gaib), yang transendental dan memfokuskan perhatiannya pada bagaimana meyakini dan beribadah pada Allah (theosentris), maka tauhid sosial berhubungan dengan realitas keduniaan yang kasat mata dan memfokuskan perhatiannya pada kehidupan manusia (antrophosentris). Dengan demikian, bagi seorang muslim, beriman kepada Allah dan beribadah kepada-Nya saja belumlah cukup. Keimanan itu harus berdampak nyata pada kehidupan sosial. Iman harus bersifat praktis dan memberikan kontribusi nyata ditengah kehidupan masyarakat. Apalagi ditengah modernitas yang selalu mengedepankan hal-hal yang konkrit dan rasional.
Pada dimensi ini, akidah memasuki wilayah kesejarahan manusia. Dimensi praktis dari akidah ini menjelaskan keterkaitan antara keyakinan dengan persoalan-persoalan sosial. Tauhid dalam dimensi praktis sosial ini ingin menunjukkan keterkaitan yang kuat antara keyakinan dengan realitas sosial. Tauhid tidak semata berkaitan dengan keimanan pada hal-hal yang ghaib, namun juga terkait dengan historitas manusia, berhubungan dan berkepentingan dengan kehidupan manusia dimuka bumi ini. Oleh karena itu, dalam perspektif yang terakhir ini, persoalan tauhid bukan hanya sekedar mengimani Allah dan memberikan penjelasan rasional terhadap keyakinan itu, tetapi juga sejauh mana keyakinan itu mampu membebaskan manusia dari berbagai permasalahan sosial, budaya, politik, ekonomi, dn sebagainya. Sebuah keyakinan yang menjadi sumber energi untuk gerakan pembebasan.
Menurut M.Amin Abdullah, tauhid sosial adalah aksentusi dan aplikasi iman pada wilayah praksis sosial, atau a faith in action. Keimanan kepada Allah menjadi sumber kekuatan untuk mengentaskan dan membebaskan manusia dari berbagai penderitaan dan penindasan sosial. Isu-isu seperti pemburuhan, ketenagakerjaan, kesetaraan gender, pengentasan kemiskinan, lingkungan hidup, memperkuat basis masyarakat madani dan pemberdayaan masyarakat menjadi bagian dari agenda tauhid sosial.
Menurut ismail al-Faruqi, dalam bukunya yang berjudul tauhid,setelah manusia menerima tuhan sebagai satu-satunya yang dipertuhankan, setelah menyerahkan dirinya, hidup dan seluruh energinya untuk mengabdi kepada-Nya, dan setelah mengakui kehendak sang penguasa sebagai kehendak yang harus diaktualisasikan dalam ruang dan waktu, dia mesti terjun dalam hiruk-pikuk dunia dan sejarah dan menciptakan perubahan yang dihendaki. Bagi faruqi, tauhid terkait dengan historisitas manusia. Contoh terbaik adalah Nabi Muhammad SAW. Keyakinan Nabi yang kuat kepada Allah tidak membuatnya mengambil jarak dan mengisolasi diri dari problematika masyarakat. “meditasi” di gua hira tidak menjadikannya lelap dengan ibadah dan menjauhi kehidupan. Meditasi itu justru melahirkan revolusi sosial yang mengangkat harkat, martabat,dan kehidupan masyarakat. Dalam bukunya al-faruq ingin membuktikan keterkaitan tauhid sebagai prinsip sejarah, tauhid sebagai prinsip ilmu pengetahuan, tauhid sebagai prinsip metafisika, tauhid sebagai prinsip tata sosial, tauhid sebagai prinsip tata politik, hingga tauhid sebagai prinsip tata dunia.
hanya sekedar pernyataan verbal tentang ketuhanan dan kenabian. Bagi Hanafi, kaliamat syahadat merupakan kesaksian yang bersifat teoritis sekaligus kesaksian praktis tentang problematika manusia dalam kesejarahannya. Penggalan pertama dari kalimat syahadat, asy-hadu alla ilaha, mengandung makna tindakan meniadakan, yakni membebaskan manusia dari berbagai bentukpemaksaan, penganiayaan, otoritarianisme, dan kekejaman. La ilaha juga bermakna membebaskan manusia dari sikap mengikuti saja nilai-nilai dan berbagai pemikiran yang mapan pada zamannya.
Sedangkan penggalan kedua, illallah, bermakna penetapan, yakni menetapkan tindakan positif manusia untuk selalu nerunuskan cita-cita sosial ideal, dan menyatakan ketundukannya pada prinsip universal yang berlaku sama untuk semua manusia. Illallah juga bermakna menjadikan manusia memeluk nilai-nilai baru yang terkait dengan prinsip-prinsip universal.
Di sini nampak sekali keinginan kuat Hanafi untuk membangun sebuah keyakinan tauhid yang tidak hanya memiliki ukuran-ukuran individual dalam hubungan dengan Yang Maha Esa, tetapi juga menjadikan tauhid sebagai keyakinan yang harus diukur dalam hubungan antara sesama manusia. Tauhid dimata hanafi tidak hanya sekedar intelectual exercise, justru yang lebih penting adalah ruh tauhid yang dapat menjelma menjadi kekuatan revolusioner untuk mengubah dan menggerakan masyarakat kearah yang lebih baik. Tauhid bukan hanya sekedar ikrar keimanan kepada Allah SWT, namun juga ikrar untuk jadi pelaksana dan penganjur kebaikan (amar makruf nahi munkar) bagi seluruh manusia.
Selanjutnya dalam sejarah intelektual muslim indonesia,istilah tauhid sosial pertama kali diintrodusir oleh Amien Rais.melalui bukunya “tauhid sosial, formula menggempur kesenjangan”, Amien Rais mempopulerkan tauhid sosial sebagai salah satu tonggak pemikiran cendekiawan kontemporer diindonesia. Bagi Amien Rais, keyakinan umat manusia terhadap keesaan Allah berhubungan langsung dengan tata sosial yang berkeadilan. Dalam formulasi Amien, tauhid sosial adalah dimensi sosial dari tauhidullah (mengesakan Allah). Tauhid merupakan kekuatan pembebasan terhadap seluruh bentuk ketidakadilan yang diciptakan oleh manusia dalam sejarahnya. Tauhid sosial, memiliki makna kesatuan dalam lima hal dibwah ini :
1. Unity of Godbead, bahwa Tuhan itu Esa, tidak ada Tuhan kecuali Allah.
2. Unity of creation, keyakinan terhadap keesaan Tuhan ini memiliki konsekuensi logis pada persoalan penciptaan, yaitu kesatuan penciptaan. Apa saja yang ada dilangit dan dibumi, semuanya adalah ciptaan Allah, tanpa kecuali.
3. Unity of mankind. Karena manusia merupakan bagian dari ciptaan Allah melalui kesatuan penciptaannya, maka ketauhidan juga meyakini akan adanya unity of mankind,kesatuan manusia. Manusia dimana dan kapan pun hidupnya, terlepas dari ras, warna kulit, suku bangsa dan bahasa yang berbeda-beda, pada dasarnya adalah sama, sama-sama makhluk Allah. Tidak ada diskriminasi atas dasar apapun terhadap sesama manusia.
4. Unity of Guidance. Kesatuan kemanusiaan dalam keanekaragaman ekspresimembutuhkan kesatuan pedoman hidup. Karena manusia diciptakan Allah, tente pedoman tertinggi yang mengatur tentang tujuan hidupnya dan bagaimana manusia harus hidup untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat, memerlukan adanya unity of guidance,kesatuan pedoman, yaitu wahyu Allah SWT.
5. Unity of the Purpose of Life.kesatuan pedoman hidup, menunjukan adanya kesatuan tujuan akhir dari hidup. bahwa tujuan hidup yang sesungguhnya bukan hanya kebahagiaan didunia, tetapi juga kebahagiaan diakhirat.
Konsep tauhid sosial berakar dari pemahaman kalimah syahadah “La ilaha illallah, muhammadurrasulullah.” Bagin Amien Rais, kalimah syahadat ini memiliki lima makna dalam hidup seorang mukmin. Pertama, ketauhidan kepada Allah membuat seorang mukmin memiliki keberanian untuk menolak, melawan dan mengatakan “tidak” kepada kebatilan dan ketidakadilan.
Semangat tauhid yang terkandung pada kalimat “Lailaha,” merupakan semangat menolak semua bentuk manifestasi “thoghut,” semua bentuk berhala dalam kehidupan manusia. Kedua, pada kalimat “Illallah”mengandung arti bahwa kebenaran hanya datang dari Allah. Sebagaimana dalam ayat berikut ini:
Katakanlah: ” Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang menunjuki kepada kebenaran? “Katakanlah:” Allah-lah yang menunjuki kepada kebenaran “. Maka apakah orang-orang yang menunjuki kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan? (QS. Yunus [10]: 35).
Keiga, kalimat syahadahmengandung makna bahwa manusia muslim memiliki proclamation atau declaration of life, sebuah pernyataan sikap hidup yang tegas. Setiap mukmin harus berani menunjukkan jati dirinya yang sesungguhnya. Bagi orang yang bertauhid, segala sesuatu dalam hidup ini sudah jelas. Seorang muslim dapat membedakan dengan tegas mana yang bener dan mana yang salah, serta dituntut untuk konsisten memperjuangkan kebenaran. Keempat, kalimah syahadah juga mengandung makna tentang tanggung jawab setiap orang beriman untuk menerjemahkan kebaikan dalam kehidupan bersama secara terus-menerus. Kelima, kalimah syahadah adalah ikrar seorang muslim untuk mematuhi tuntutan Allah dalam al-qur’an dan sunah. Ukuran tertinggi dalam hidup manusia adalah tuntunan Ilahi yang ada dalam kedua sumber ini, bukan ukuran-ukuran yang dibuat oleh manusia.
Dalam konteks indonesia, jauh sebelum Amien Rais, pendiri Muhammiyah K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923 M) sebenernya telah memperkenalkan dimensi praktis sosial dari ajaran tauhid. Dalam pemikiran Dahlan, tauhid tidak hanya berkaitan dengan iman kepada Allah saja, tetapi terkait dengan hubungan antar manusia. Tauhid sosial dalam pemikiran Dahlan, menurut Muhammad Damami, minimal dipahami dalam dua hal, yaitu: pertama, persaudaraan erdasarkan ketunggalan akidah dan syari’ah. Perbedaan paham dalam aspek akidah dan syari’ah harus tetap diletakan dalam satu keyakinan bahwa Allah itu Esa (prinsip monotheisme). Perbedaan-perbedaan tersebut tidak harus mengorbankan persaudaraan. Kedua, persaudaraan kemanusiaan. Kaitannya hal ini, keyakinan kepada Allah harus ditujukkan untuk membangun kehidupan bersama yang berkesejarahan, tidak hanya dalam kehidupan berbangsaa tetapi juga dalam makna kemanusiaan yang universal.
Ada satu cerita populer mengenai Dahlan terkait dengan tauhid sosial ini. Diceritakan, ketika dahlan mengajarkan santrinya surah al-Ma’un, ia selalu mengulang-ulang sampai santrinya merasa bosan dan menanyakan kepadanya mengapa surah itu selalu diulang-ulang padahal para santrinya sudah hapal surah al-Mu’mun, tapi kalian belum mengamalkannya, kemudian santri-santrinya diminta untuk melaksanakan perintah yang ada disurah al-Ma’un, yaitu menolong anak yatim dan fakir miskin. Setelah hal itu ditunaikan, barulah proses pembelajaran dapat berpindah ketopik yang berikutnya. Pembelajaran ini menunjukkan bahwa bagi dahlan, sikap beragama yang benar harus dibuktikan dalam aksi sosial.
Dari semua penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa tauhid sosial merupakan gagasan yang ingin mengaitkan aspek
Tidak ada komentar:
Posting Komentar